Noda hitam merajalela dari kota sampai ke desa, sebagian bilang istimewa sebagian bilang haram hukumnya. Sekali coba masuk neraka keluarga entah di mana jati diri hilang sirna.

Sekitar pukul 5 pagi Eri terbangun. Bukan untuk shalat subuh pastinya, Eri penganut agama kristen. Ia terbangun karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Badannya terasa pegal-pegal. Matanya berair, hidungnya juga ingusan. Eri coba menahannya namun tetap saja ia gelisah. Rasa sakitnya tidak kunjung hilang. Ia sakaw.

Beberapa jam sebelum sakaw, Eri mengkonsumsi ganja yang ia beli dari bandar seharga seribu rupiah per am—satuan terkecil takaran ganja. Itu tahun 1996, waktu Eri tinggal di kos-kosan biasa yang tak jauh dari SMA Kalam Kudus Medan, sekolah pertama sejak ia tinggal sendiri di Medan. Eri awalnya menetap di Tarutung bersama kedua orang tuanya.

Eri lantas bangun untuk mencari ‘barang’ lagi demi menghilangkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia tak berani mandi. “Orang sakaw itu takut sama air, rasanya dingin kali kalo nyentuh air sampek badan pun mau beku,” terangnya. Ia pergi meninggalkan kamar kos dengan pakaian seadanya. Badannya tetap gelisah, kedinginan. Eri menguap. Sekali. Dua kali. Hingga berkali-kali, padahal ia tak merasakan kantuk.